Senin, 06 Februari 2012

ILMU NUZULUL QURAN

Adalah hikmah Allah swt bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang dialai oleh Rasulullah saw dan untuk memberi tahu beliau mengenai¬ masalah-masalah baru yang terjadi setiap hari. Melalui wahyu, Allah memberi tuntunan serta petunjuk dan memantapkan ketabahan serta menambah ketenangan beliau. Di samping itu, wahyu diturunkan juga sejalan dengan keperluan yang dibutuhkan untuk mendidik para sahabat beliau, memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab berbagai persoalan yang mereka alami.

A. Proses Turunnya Al-Qur'an
Pada umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa Al-qur'an turun tiga kali: (1) mula-mula turun di Lauh Mahfudz, (2) selanjutnya ke Baitul-`Izzah di langit dunia (langit lapis pertama), (3) dan terakhir diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa tertentu. Al-Qur'an turun dari Lauh Mahfudz ke Baitul 'Izzah adalah sekaligus pada malam Lailah al-Qadr. Beberapa dalil untuk mendukung pendapat ini ialah:
1- حم والكتاب المبين إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين (الدخان(44): 1-3)
2- إنا أنزلناه في ليلة القدروما أدراك ما ليلة القدر (القدر97: 1-2)
3- شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان (البقرة (2): 185)
Dan tiga nash tersebut jelaslah bahwa al-Qur'an diturunkan pada satu malam yaitu malam lailatul Qadr. Turunnya ini dimaksudkan adalah turun yang pertama kepada Baitul 'Izzah karena kalau yang di maksud turun kali yang kedua , maka tidaklah absah bahwa dikatakan turunnya Al-Qur'an pada malam yang satu (Ramadhan), karena al-Qur'an itu diturunkan pada masa yang panjang selama masa pengutusan (23 tahun), dan diturunkan pada bulan Ramadhan yang merata pada seluruh Ramadhan. Di samping beberapa nash al-Qur'an di atas juga didukung oleh beberapa hadis¬-hadis shahih, antara lain:

1- عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: فصل القرأن من الذكر فوضع بيت العزة من السماء الدنيا فجعل جبريل ينزل به على النبى صلى الله عليه وسلم (رواه الحاكم)
2- عن ابن عباس رضى الله عنهما قال: أنزل القرأن جملة واحدة الى السماء الدنيا وكان بمواقع النجوم وكان الله ينزله رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضه فى أثر بعض (رواه الحاكم والبيهقى)
3- روى عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: أنزل القرأن فى ليلة القدر فى شهر رمضان الى السماء الدنيا جملة واحدة ثم أنزل نجوما (رواه الطبرانى) . يريد بقوله "مواقع النجوم" على تؤدة ورفق. وقوله "رسلا" أنه منجما مفرقا يتلو بعضه بعضا. وقوله " نجوما" اى أجزاء متفرقة.

Sedangkan model kedua yaitu al-Qur'an turun berangsur-angsur, maksudnya ialah turun dari Baitul `Izzah ke dalam hati Nabi saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah. Menurut berbagai sumber riwayat setelah bi'tsah Rasulullah hidup di Makkah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Madinah dan mukim di kota itu hingga akhir hayatnya , yakni 10 tahun. Begitulah al-Qur'an turun berangsur-angsur. Nabi saw membacanya perlahan-lahan, sedang para sahabat membacanya sedikit demi sedikit. Ayat-ayat al-Qur'an diturunkan sehubungan dangan peristiwa, baIk bersifat individual atau sosial. Adapun dalil naqli bahwa al-Qur'an turun berangsur-angsur yaitu:
1. وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا (الإسراء: 106)
2. وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)

B. Hikmah Turun Al-Qur'an Secara Berangsur-Angsur (As-Shabuni, 1975:35)

1) Meneguhkan dan menetapkan hati Nabi saw dalam menghadapi penderitaan yang dilancarkan oleh kaum musyrikin
Pada suatu ketika orang-orang musyrik mengusulkan agar al-Qur-an itu diturunkan sekaligus sebagaimana kitab-kitab samawi sebelumnya. Oleh karena itu Allah swt menolak usulan mereka dengan firmanNya Furqan (25):32:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Terkadang jalan meringankan hati Nabi melalui cara menceritaka kisah-kisah para Nabi agar Nabi saw mengikuti kesabaran dan jihad mereka. Seperti firmanNya:
ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأوذوا حتى أتاهم نصرنا ولا مبدل لكلمات الله ولقد جاءك من نبإ المرسلين (الأنعام: 34)
فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ فهل يهلك إلا القوم الفاسقون (الأحقاف: 35)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

Atau dengan jalan menjanjikan pertolongan dan menunjukkan kekuatan. Seperti firmanNya:
1. وينصرك الله نصرا عزيزا (الفتح: 3)
2. ولقد سبقت كلمتنا لعبادنا المرسلين إنهم لهم المنصورون وإن جند نا لهم الغالبون (الصفات: 171-173)
Atau terkadang melalui cara menghabarkan kepada Rasulullah dengan kabar mengalahkan musuh-musuhnya. Seperti:

قل للذين كفروا ستغلبون وتحشرون إلى جهنم وبئس المهاد (ال عمران: 12)

2) Meringankan Rasulullah saw ketika wahyu turun, karena ayat-ayat al-Qur'an itu sangat hebat.
Kalau al-Qur'an itu diturunkan sekaligus tentu sangat memberatkan Nabi karena kehebatan al-Qur'an itu. FirmanNya:
إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا (المزمل: 5)
لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون (الحشر: 21)

Diceritakan oleh `Aisyah ra bahwa ketika turun ayat al-Qur'an kepada Nabi di mana Nabi saw merasa sangat berat. Ketika turun wahyu saya melihat, pada waktu itu hari sangat dingin, namun dahi Nabi bercucuran keringat. Hat itu karena beratnya wahyu itu. (HR. Bukhari).

3) Penetapan atau berangsur-angsur dalam tasyri' hukum.
Seperti halnya mengharamkan minum khamr. Pada tahap pertama adalah menyuruh menjauhi daripadanya dengan cara tidak langsung. Firman-Nya Nahl (16):67:
ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا إن في ذلك لآية لقوم يعقلون (النحل: 67)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

Dalam ayat tersebut memberitahukan bahwa Allah memberi nikmat dengan dua hal yaitu anggur dan kurma, yang dari keduanya menghasilkan sesuatu yang memabukkan (khamr) yang hal itu rizki yang baik dan memberi manfaat bag] manusia balk sebagai makanan maupun minuman. Yaitu pertama¬tama diberi pujian yaitu rizki yang baik, tetapi juga memberi gambaran bahwa hal itu sesuatu yang memabukkan dan menghilangkan akal manusia. Pada tahap kedua, yaitu suruhan agar menjauhi secara langsung dengan cara memperbandingkan dua akibat yaitu terdapat kemanfaatan secara material dan kemudaratan badan dan akal. Juga diterangka tentang madorot yang besar yang menjurumuskan dan membinasakan kepada manusia dengan cara jatuhnya seseorang kepada perbuatan dosa besar. FirmanNya Al-Baqarah (2): 219:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Yang di maksud dengan "kemanfaatan" ialah kemanfaatan yang bersifat materi yang dapat diambil faedahnya dari perdagangan dan jual bell khamr yang dapat menguntungkan. Dari perbandingan antara kemanfaatan dan kamadorotan jelaslah bahwa Islam menyuruh menjauhi khamr dengan cara menerangkan kemadorotan yang bersifat jasmani sekalipun tidak mengharamkannya. Pada tahap ketiga, dengan mengharamkan khamr tetapi hanya pada waktu tertentu saja. FirmanNya Nisaa (4): 43:
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengharamkan khamr pada waktu shalat saja, selain itu tidak apa-apa. Telah diriwayatkan tentang asbab nuzulnya ayat ini yaitu ketika Abdunahman bin Auf mengadakan walimah yang mengundang beberapa sahabat. Ali bin Abi Thalib berkata : kami diundang dan kami diberi minum khamr. Karena itu saya mengambilnya dan di antara kami. Kemudian waktu shalat datang, dan mereka menunjuk saya menjadi imam shalat. Maka saya membaca ayat:
قل يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون ونحن نعبد ما عبدتم فنزلت الأية الكريمة...
Pada tahap keempat, dengan mengharamkan khame secara keseluruhan dan secara qath'i. FirmanNya Al-Maidah (5): 90-91
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

4) Untuk memudahkan menghafal al-Qur'an, memelihara, memahami dan memikirkannya.
Sementara ulama berpendapat, kalimat meneguhkan hatinya dalam ayat 32-33 Surat al-Furqan tidak punya makna lian kecuali menghafal semua ayat di dalam hati Rasul saw. Mereka mengatakan: "beloau seorang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, karena itulah al-Qur'an turun berangsur-angsur agar beliau mudah menghafalkannya. Lain hainya dengan Nabi terdahulu, beberapa di antaranya ada yang dapat membaca dan menulis, karena itu ada kemungkinan baginya untuk menghafalisi semua kitab suci meskipun diturunkan sekaligus (al¬Zarkasyi, 1957:1:231). Ibnu Furak menambahkan penjelasan mengenai itu secara terinci. la mengatakan :"konon Taurat diturunkan secara sekaligus, karena Nabi yang menerimanya dapat membaca dan menulis, yaitu Nabi Musa as". Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak dapat ditulis seketika karena is diturunkan kepada seorang Nabi yang tidak kenal baca tulis (al-Zarkasyi, I, 1957:231).

5) Perjalanan, kebutuhan atau kondisi kejadian-kejadian kebutuhan.
Adapun turunnya disesuaikan dengan keperluan yang dibutuhkan kaum mukminin pada saat itu. Di dalam al-Qur'an ditemukan banyak macam bentuk dan coraknya, namun semuanya bertemu pada satu titik tujuan yaitu memelihara dan memenuhi kebutuhan kaum mukmunin di dalam masyarakat bare yang mulai berkembang tanpa mengejutkan dengan perundang-undangan , kebiasaan-kebiasaan dan etika yang belum bisa mereka hayati sebelumnya (Subh al-Shalih, 1977:62). Dalam riwayat Bukhari (Shahih Bukhari VI, t. :185) dijelaskan bahwa 'Aisyah mengatakan, bagian al-Qur'an yang pertama-tama turun ialah sebuah surat terinci yang menyebut surga dan neraka. Setelah banyak orang memeluk Islam turunlah ayat-ayat mengenai halal haram. Kalau sekiranya yang pertama turun: "Jangan minum arak", mereka pasti menjawab: "kami tidak akan meninggalkan arak selama-lamanya", dan kalau yang pertama itu turun , "kalian jangan berzina", mereka tentu menjawab:"kami tak akan meninggalkan perzinaan selama¬lamanya". (as-Suyuti, 1, tt.:73).

6) Memberi petunjuk kepada sumber al-Qur'an bahwa dia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana.
Semua ayat-ayat al-Qur'an itu merupakan kalam Allah yang tidak mungkin merupakan perkataan Nabi Muhammad saw dan tidak pula kalam makhluk lainnya.

C. PEMELIHARAAN AL-QUR'AN DI MASA NABI SAW

AL-Qur'an menurut para ulama ialah sebagai kalam Allah swt yang diwahyukan kepada RasulNya (Muhammad saw) dan bagi yang membacanya adalah ibadah (Manna al-Qattan, 1973:21). DI samping itu kedatangan al-Qur'an adalah dengan jalan mutawatir sehingga memberi nilai qath'iyul wurud. Sejarah mencatat bahwa al-Qur'an itu diwahyukan bukan kepada seorang yang pintar baca tulis, tetapi kepada Rasul yang ummi dan kepada bangsa yang sebagian penduduknya buta huruf di Jazirah Arab. Demikian juga kaum muslimin telah sepakat bahwa al-Qur'an sejak masa Nabi saw sudah tertib ayat ayatnya, susunannya maupun kalimat-kalimatnya serta huruf-hurufnya (Hanafi Ahmad, tt. :15).
Perlu juga ditambahkan bahwa pada waktu al-Qur'an diturunkan, bangsa Arab telah mengenal berbagai kesenian, keterampilan berkuda, kisah-kisah dan peribahasa dan dialek yang berlaku di kalangan bangsa Arab itu. "Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa yang digunakan di kalangan bangsanya, agar dia menjelaskannya kepada kita. (QS Ibrahim [14]:4) Dalam sejarah, kita melihat di masa Nabi saw telah banyak sahabat Nabi yang hafal al-Qur'an seluruhnya. Oleh Subh Shalih yang diambil dari riwayat Bukhari di dalam shahihnya, tidak dapat mengatakan lebih kecuali jumlah para sahabat yang hafal al-Qur'an pada hidupnya Rasulullah tidak lebih dari tujuh orang. Tujuh orang itupun naman-namanya tidak disebut secara beturut di dalam satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, tetapi tersebut dalam tiga buah riwayat yang meninggalkan nama-nama yang telah di sebut berulang-ulang.
Riwayat pertama berasal dari Abdullah bin 'Amar bin al-'Ash yang mengatakan sebagai berikut: Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Belajarlah al¬Qur'an dari empat orang, 'Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu'adz dan Ubai bin Ka' ab".
Riwayat kedua, berasal dari Qatadah yang mengatakan : Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik: "Siapakah sebenarnya para penghafal al-Qur'an pada masa hidup Rasulullah?". Anas menjawab:"Empat orang semuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka'ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid". Aku bertanya lagi: Siapakah Abu Zaid? Anas menjawab: "Seorang dari kaum muslimin awam".
Riwayat ketiga, dikemukakan oleh Tsabit berasal dari Anas bin Malik yang mengatakan sebagai berikut: Ketika Rasulullah wafat belum ada yang hafal al-Qur'an kecuali empat orang, yaitu Abu Darda', Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Menurut Blachere (orientalis) bahwa ketujuh orang itu ialah 'Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qal anak asuh Abu Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin as-Sakhn dan Abu Darda'. Pada bagian lain Blachere menyebutkan ada satu salah nama yang tidak disebutkan dalam riwayat Bukhari tersebut padahal dia adalah penghafal al-Qur'an dan terkenal julukan al¬Qari yaitu Sa'id bin Ubaid.
Subh al-Shalih menyimpulkan bahwa sebenarnya masih banyak yang hafal al-Qur'an sepeninggal Nabi saw yang termasuk jajaran ahli qiraat, yaitu: empat orang khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ra), Thalhah, Sa'ad, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah, Salim Abu Hurairah, Abdullah bin Sa'ib, abdullah bin Amar bin al-Ash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Aisyah, Hafhsah, dan Umu Salamah. Mereka itu semuanya dan kaum Muhajirin. Sedang dan kaum Anshar: Ubadah bin As-Shamit, Mu'adz julukannya bernama Abu Halimah (bukan Mu'adz bin Jabal), Majma' bin Jariyah, Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Mukhallad. Sebenarnya masih banyak lagi yang menghimpun al-Qur'an di dada masing-masing, menghafalnya dengan sangat banyak, tetapi mereka itu tidak sempat diuji ketepatan hafalannya di hadapan Rasulullah saw.
Nabi saw tidak pandai baca tulis karena itu dia menyuruh para sahabat untuk menuliskan wahyu Allah setiap Nabi saw menerimanya. (al-Ibyari, 1964:47). Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah mempunyai beberapa pencatat wahyu, di antaranya, empat oramg sahabat yaang akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka'ab, Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur'an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan yang tertulis. (Subh al-Shalih, 1977:69). Namun sekalipun telah dihafalkan dan dituliskan seluruh al¬-Qur'an pada masa Nabi, tetapi masih belum terkumpul dalam satu mushaf atau satu tempat dan tidak pula tersusun surat-suratnya secara tertib. (as-Suyuti, 1979:59). Para sahabat menuliskan ayat itu pada lempengan kulit, daun, batu-¬batuan yang tipis, yang lebar, pelepah kurma, tulang-tulang unta atau kibas yang sudah kering, pelana unta serta pada kulit. (Subh al-Shalih, 1977:70; as-Suyuti, 1979:60).
Seluruh al-Qur'an itu tidak mungkin ada kalimat atau kata yang disisipkan Nabi saw atau dituliskannya karena tidaklah pantas sifat seorang Nabi seperti itu. Di samping itu adalah ummi. Seperti para ahli sejarah menyebutkan kajadia pada perang uhud. Pada waktu itu Abbas berada di Makkah dan menulis surat kepada Nabi saw dan surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki dari Bani Ghifari. Isi surat itu memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk keluar dari Makkah menuju perang Uhud. Ketika Nabi saw menerima surat tersebut, beliau memanggil Ubai bin Ka'ab (sekretaris Nabi saw) untuk membacanya. Setelah Ubay selesai membaca surat tersebut, Nabi menyuruh Ubai untuk merahasiakan isi surat tersebut. (Ibyari, 1964:48). Sekiranya Nabi pandai tulis baca tentu tidak perlu beliau minta bantuan untuk membacakan surat tersebut, apalagi kandungan surat itu sangat penting dan bersifat rahasia. Sebagaimana telah disebutkan bahwa tartib ayat-ayat al-Qur'an itu adalah menurut petunjuk Nabi saw (tauqify). Nabi saw bisa membaca satu surat berulang-ulang dengan tertib ayat-ayatnya baik dalam shalat maupun pada waktu beliau berkhutbah dan disaksikan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan tartib ayat-ayat al-Qur'an adalah tauqify (Subh al-Shalih, 1977:71). Kalau tidak tauqify, tentu Nabi saw dalam membacakan ayat-ayat al-Qur'an tidak perlu tartib. Kita tahu bahwa dalam satu surat bukanlah membicarakan satu jenis masalah. Kadang¬-kadang beberapa ayat membicarakan satu jenis permasalahannya, kemudian beralih ke masalah yang lain, lalu kembali lagi ke masalah semula. Demikian juga ayat yang lebih awal turun ditempatkan pada awal al-Qur'an atau yang akhir turun ditempatkan pada awal dari al-Qur'an, seperti QS Al-Baqarah [2]:281 adalah akhir turunnya ayat al-Qur'an (Ibyari, 1964:62). Dan Nabi saw menempatkannya di antara dua ayat "riba dan dain" dari surat al-Baqarah. Seperti itu juga sekalian ayat al-Qur'an (Subh al-Shalih, 1977:71; Ibyari, 1964:67).
Mengenai susunan surat yang sekarang ini, apakad berdasarkan tauqify atau tidak, ada beberapa pendapat:
1. Susunan surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Karena susunan surat pada mushaf sahabat sebelum penulisan pada Khalifah Usman berbeda-beda. Kalau susunan itu atas petunjuk Nabi saw, niscaya mereka mematuhi Nabi saw.
2. Berdasarkan tauqify sebagaimana susunan ayat. Karena seluruh ayat-ayat al¬Qur'an ditempatkan sesuai dengan perintah Nabi saw dengan alasan (1) bahwa semua sahabat telah sepakat terhadap susunan surat dalam mushaf yang ditulis pada Khalifah Usman dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Kesepakatan itu terjadi tidak lain karena berdasarkan tauqify. Sekiranya susunan surat dalam mushaf Usman itu berdasarkan ijtihad, tentu para sahabat yang mempunyai mushaf sendiri tetap mempertahankannya, yang susunannya berbeda dengan mushaf Usman. Kenyatannya mereka tidak mempertahankannya, tetapi menerima mushaf Usman, bahkan membakar mushaf mereka sendiri (2) bahwa keadaan surat-surat yang sejenis dalam al-Qur'an itu tidak senantiasa disusun secara urut (3) bahwa Ibnu Asyta dalam al-Mashahifnya meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Sulaiman bin Bilal, dia berkata: Saya mendengar Rabiah ditanya: "mengapa engkau mendahulukan surat al-Baqarah dan Ali Imran dalam susunannya, sedangkan sebelum kedua surat itu turun, telah ada delapan puluh surat lebih yang turun di Makkah dan al-Baqarah serta Ali Imran keduanya turun di Madinah". Kemudian dia menjawab:" al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan dalam susunannya dan al-Qur'an disusun atas ilmu dari yang telah menyusunnya".
3. Bahwa susunan surat-surat dalam al-Qur'an itu berdasarkan tauqify, dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad sahabat (al-Zarkasyi, tt.:353-8; as-Suyuti, 1979:64).
Pendapat kedua yaitu al-Qur'an baik ayat-ayatnya maupun susunan surat¬suratnya adalah berdasarkan tauqify. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan, juga dapat kita kutip pendapat Subh al-Shalih, (4) bahwa susunan surat al-Qur'an itu tauqify karena al-Qur'an telah lengkap sepeniggal Nabi saw sehingga usaha-usaha sahabat yang selain Usman, maka hal itu merupakan ikhtiar sahabat itu sendiri. Mereka tidak bermaksud atau berusaha agar seseorang mengikuti tertib surat yang berada dalam mushaf mereka. Tidak juga mereka mengatakan bahwa menyalahi mushaf mereka dilarang. Mereka menulis mushaf untuk mereka sendiri sehingga setelah umat Islam sepakat terhadap tertib surat yang ditulis oleh panitia adhoc yang dibentuk Khalifah Usman, mereka mengambilnya dan meninggalkan mushaf-mushaf mereka. Sekiranya mereka berpendapat bahwa tertib surat itu ijtihadi, tentu mereka tetap berpegang kepada mushaf mereka dan tidak perlu mengambil mushaf Khalifah Usman (Subh al-Shalih, 1977:71). Perlu ditambahkan bahwa Zaid bin Tsabit (ketua panitia) sebagai pengkodifikasinya adalah seorang yang hafal al-Qur'an seluruhnya dan dia hadir pada waktu kali yang terakhir Jibril as datang untuk mengecek al-Qur'an yang dihafalkan oleh Rasulullah saw sehingga adanya perbedaan tertib surat yang ada di tangan para sahabat semata-mata karena perbedaan kedekatan mengikuti Nabi saw, seperti Ali bin Abi Thalib, dan sahabat yang lain kadang-kadang dapat mengikuti Nabi dan kadang-kadang tidak. Demikian juga kalau kita lihat begitu rapinya susunan surat, maka tidak mungkin para sahabat berfikir untuk menyusunnya dalam waktu yang relatif singkat sedang keadaan pada waktu itu dilanda oleh situasi yang tidak stabil (perang).
Ada riwayat yang sebenarnya lemah, yaitu terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (Jilid 1:331). Hadis itu ialah jawaban Usman bin Affan kepada Ibnu Abbas yang mengungkapkan alasan penempatan surat al-tiara an (at-Taubah) tanpa diawali basmalah sesudah surat al-Anfal: "Surat al-Anfal termasuk surat¬-surat pertama yang turun di Madinah, sedangkan al-Bara'ah turun belakangan. Kisah yang ada dalam surat al-Bara'ah serupa dengan kisah yang tercantum dalam surat al-Anfal. Sampai saat Rasulullah wafat tidak dijelaskan bahwa surat al¬-Bara'ah adalah bagian dari surat al-Anfal. Aku mengira surat al-Bara'ah itu merupakan bagian surat al-Anfal, karenanya dua surat tersebut kutempatkan berdampingan... " dan seterusnya. Menurut Ahmad Muhammad Syakir, sebenamya hadis tersebut sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya, sedang isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bukhari memasukkan Yazid al-Farisi ke dalam daftar kaum perawi hadis dha'if (lemah). Hadis riwayat satu orang, sulit diterima.
Apalagi mengandung unsur yang meragukan keyakinan umat sebagaimana halnya dengan penyusunan surat, bacaan maupun penulisannya di dalam mushaf Hadis yang dimaksud juga meragukan kepastian adanya Basmalah pada setiap awal surat sehinggan timbul kesan seolah-olah Usman bin Affan menetapkan atau meniadakan Basmalah itu menurut pendapatnya sendiri. Sungguh sulit dipercaya hal itu bisa terjadi. Karena itu tidaklah salah kalau kami mengatakan:"hadis itu tidak karuan asalnya". (Tanggapan tentang hadis tersebut, lihat Musnad Ahmad bin Hanbal I, hat. 330).
Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidup Rasulullah telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup "tujuh huruf' yang menjadi landasan turunnya al-Qur'an.
Sesungguhnya, setiap ayat yang dicatat disimpan di rumah Rasulullah, sedang para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saling kontrol antara naskah yang berada di tangan para pencatat wahyu itu dan suhuf (lembaran-lembaran al-Qur'an) yang berada di rumah Rasulullah saw. Di samping itu ada kontrol lain dari para penghafal al-Qur'an di kalangan sahabat Nabi saw, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin al-Qur'an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون (الحجر: 9)
"Kamilah yang menurunkan al-Qur'an dan Kami (jugalah) yang menjaganya"

1 komentar:

  1. semoga menjadi tambahan pengetahuan saudaraku kaum muslimin dan muslimat

    BalasHapus