Sabtu, 20 April 2013

TASAWUF

    Arti Tasawuf
    Arti Tasawuf Secara Etimologi

  1. Ahlu Suffah adalah golongan orang-orang yang berbantal pelana kuda, yaitu orang-orang yang                   mengikuti hijrah dari Mekkah ke Madinah, orang-orang itu tidak membawa bekal apa-apa dan setiap hari tinggal di Masjid Nabawi, kalau tidur berbantal pelana kuda, meskipun mereka itu miskin tetapi berhati mulia dan suci. 
  2. Suffun (barisan dalam sholat) Para sufi itu kalau jama’ah sholat selalu mengambil baris/ saf pertama.
  3. Suffiyun artinya suci Para sufi itu hatinya suci dengan cara latihan-latihan yag berat dan lama sehingga hatinya suci dan mulia dan dapat sedekat mungkin dengan Tuhan.
  4. Suphos artinya bijaksana (dari bahasa Yunani) yang diarabkan menjadi Falsafah. Bagi para sufi adalah orang-orang yang ahli hikmah dan bijaksana. 
  5. Suuffun artinya wull (bulu domba kasar) Bagi para sufi berpakaian jubah dari wull kasar menandakan bahwa orang-orang sufi selalu sederhana tetapi hatinya mulia. Dari lima macam arti sufi itu, tampaknya yang paling sesuai yaitu arti yang nomor lima, berpakaian sederhana tapi hatinya mulia.

      Arti Tasawuf Secara Kaidah / Istilah
     Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara atau metode bagaimana seseorang dapat suci hatinya dan selalu berada sedekat mungkin di hadirat Allah SWT. Ilmu Tasawuf adalah suatu ilmu  yang mempelajari suatu cara atau metode bagaimana seseorang dapat suci hatinya dan selalu berada sedekat mungkin di hadirat Allah SWT.

Senin, 06 Februari 2012

METODE-METODE TAFSIR ALQURAN

METODE-METODE TAFSIR ALQURAN
Oleh: Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
A. PENDAHULUAN

Seseorang tidak mungkin berarti dengan ajaran-ajaran Alquran, terkecuali sesudah kita membaca Alquran, mengetahui isinya. prinsip-pnnsip yang ditampungnya. Hal ini tidaklah mungkin dicapai melainkan dengan mengetahui apa yang ditunjuki oleh lafadh-lafadh al-qur'an. Dan inilah yang kita namakan Ilmu Tafsir. Apalagi seseorang ingin mendalami isi Alquran melalui tafsir, ia harus mengerti bagaimana metode mufassir tersebut sewaktu menulis karyanya.

Karenanya dapatlah kita menetapkan, bahwa tafsirlah anak kunci perbendaharaan isi Alquran yang diturunkan untuk memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran. Tanpa tafsir, tidaklah mungkin kita sampai kepada perbendaharaan isi Alquran walaupun kita dapat membacanya dengan segenap rupa qiraahnya.
B. PENGERTIAN TAFSIR
Menurut bahasa Tafsir ialah aI-fasr dan tabyiin (menjelaskan atau menerangkan) atau menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak. Makna inilah yang diherikan terhadap kalimat tafsir dalam QS. AI-¬Furqan (25): 33.
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Di dalann istilah, tafsir itu bermakna "Suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang Al-qur'anul Karim dari segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah sekedar yang dapat disanggupi manusia". Perkataan di dalamnva dibahas tentang keadaan-keadaan al-qur'an memberi pengertian bahwa ilmu-ilmu yang membahas tentang keadaan-¬keadaan yang lain, tidak masuk ke dalam bidang tatsir. Perkataan "dari segi dalalahnya kepada yang dikehendaki Allah ", mengeluarkan ilmu-ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan Al-qur'an dari jihad yang bukan jihad dalalahnya, seperti ilmu qiraat yang membahas tentang keadaan-keadaan A1-qur'an dari segi cara menyebutnya, dan seperti ilmu rasmi al- Usmani yang membahas keadaan-keadaan al-qur'an dan segi cara menulis lafadh-lafadhnya. Perkataan menurut “kemampuan sekedar kesanggupan manusia” memberikan pengertian bahwa tidaklah dipandang suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang mutasyabihah dan tidaklah dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui apa yang sebenarnya Allah kehendaki.2
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafad-lafad Qur'an, petunjuk¬petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.3 Menurut az-Zarkasyi bahwa Tafsir ialah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.'
C. MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
1. Tafsir bil ma'tsur
Tafsir bil ma'tsur adalah rangakain keterangan yang terdapat dalam al¬qur'an, sunah Nabi saw, kata-kata sahabat atau tabi'in sebagai keterangan atau penjelasan maksud dari Allah (firman Allah), yaitu penafsiran Al-qur'an dengan Assunah Nabawiyah. Dengan demikian maka tafsir bil ma'tsur adalah tafsir Al-qur'an dengan Al-qur'an, penafsiran Al-qur'an dengan Assunah atau penafsiran Alqur'an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat, atau tabi'in. Contoh penerapannya dapat dilihat sewaktu membahas tentang Tafsir Bil Ma'tsur.
Kedua macam tafsir tersebut di atas yaitu penafsiran al-qur'an dengan al¬qur'an dan penfsiran al-qur'an dengan sunah merupakan jenis tafsir yang paling luhur dan tidak diragukan untuk diterima. Bentuk penafsiran yang pertama atau penafsiran al-qur'an dengan al-qur'an dikatakan penafsiran paling luhur karena Allah Ta'ala lebih mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya. Demikian juga bentuk tafsir yang kedua yaitu penafsiran Al-qur'an dengan Sunah itu dikatakan tafsir paling luhur karena Rasul saw sungguh telah dijelaskan tentang urgensi dan fungsinya oleh Al-qur'an itu sendiri, di mana ditegaskan bahwa Rasul adalah berfungsi sebagai penegas dan penjelas Al-qur'an. Dalam QS. Al-Nahl (16):44 disebutkan:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Apa yang disampaikan oleh Rasul saw baik berupa penjelasan maupun keterangan yang sanadnya sahih dan benar maka hal demikian adalah termasuk yang tidak diragukan lagi akan kebenarannya dan patut untuk dijadikan pegangan.
Al-quran ditafsirkan oleh sahabat. Tafsir ini juga termasuk tafsir yang muktamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima karena sahabat adalah yang pernah berkumpul dengan Nabi saw dan mereka mengambil dari sumbemya yang asli, mereka menyaksikan turunnya al-qur'an dan mengetahui asbab al-nuzul. Mereka mempunyai tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus lagi pula berkedudukan yang tinggi dalam hal kefasihan dan kejelasan berbicara. Mereka lebih memiliki kemampuan dan memahami kalam Allah. Mereka mengetahui rahasia-rahasia al-qur'an sudah tentu akan melebihi orang lain yang manapun juga. Al-Hakim berkata:" Bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-qur'an, kedudukan hukumnya adalah marfu’." Artinya tafsir tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadis nabi yang silsilahnya sampai kepada nabi. Karena itu maka tafsir sahabat adalah termasuk ma'tsur.
Adapun tabi'in, kedudukan tafsirnya ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang berpendapat, tafsir tabi'in itu termasuk tafsir ma'tsur karena sebagian pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir tabi'in adalah termasuk tafsir dengan Ro'yu atau akal, dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir lainnya (selain nabi dan shahabat). Mereka menafsirkan Al¬qur'an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadis).
Sebab-sebab kelemahan riwayat dengan Ma'tsur. Penafsiran Al-qur'an dengan Al-qur'an dan penafsiran Al-qur'an dengan Sunah yang shahih lagi marfu' sampai kepada Nabi saw adalah tidak perlu diragukan lagi untuk diterima dan tidak diperselisihkan. Dan keduanya adalah tafsir yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Adapun Alqur'an dengan ma'tsur shahabat atau tabi'in ada beberapa kelemahan dari berbagai segi:
a. Campur baur antara yang sahih dan tidak sahih, sahabat atau tabi'in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukan antara yang hak dan batil.
b. Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyaat dan khurafaat yang bertentangan dengan akidah islamiah.
c. Ketika di kalangan sahabat ada golongan yang ekstrim, mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat.
d. Musuh-musuh Islam dari orang-orang zindiq ada yang mengicuh sahabat dan tabi'in sebagaimana mereka mengicuh Nabi saw perihal sabdanya, hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-buat hadis. Tentu hal ini perlu diwaspadai.
2. Tafsir Diroyah (ro’yu)

Yang dimaksud ro'yu di sisni ialah ijtihad yang didasarkan pada dasar-¬dasar yang sahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-qur'an atau mendalami pengertiannya. Tidaklah yang dimaksud dengan ro'yu atau pendapat di atas semata-mata dengan ro'yu atau hawa nafsu, berdasarkan kata hati atau kehendaknya.
Berdasarkan pengertian di atas tafsir ro'yu terbagi kepada dua macam, yaitu tafsir yang mahmuud (terpuji) dan tafsir yng madzmuum (tercela).
Tafsir mahmuud ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang teguh pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-qur'an. Barang siapa yang menafsirkan Al-qur'an menurut ro'yunya atau ijtihadnya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut serta berpegang pada makna-makna Al-qur'an maka penafsirannya dapat diambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmuud atau tafsir masyru’ (berdasarkan syari'at).
Sedangkan Tafsir Madzmum apabila Al-qur'an ditafsirkan tanpa ilmu, atau menurut seenaknya dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari'at, atau kalam Allah dan ditafsirkan menurut pendapat yang salah lagi sesat.'
Hal-hal yang harus diperhatikan apabila seseorang menggunakan Tafsir Bir--Rar’yi yakni:
a. Dikutip dari Rasul SAW dengan memperhatikan hadis-hadus yang dhaif atau hadis maudhu’.
b. Mengambil dari pendapat shahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’.
c. Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena al-qur'an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
d. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuan syara’. 6
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan AI-qur'an dengan ro'yu kepada dua pendapat:
a. Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-qur'an dengan ro'yu karena tafsir ini harus bertitik tolak dart penyimakan, itulah pendapat sebagian ulama. Pendapat yang membolehkan penafsiran dengan ro'yu dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan, ini adalah pendapat dari kebanyakan ulama.
Muhammad Aly Ash-Shobuny, Pengantar Studi Al-Qur'ann, Al-Ma'arif, bandung, 1987, hat. 217.
6 lhid
Ulama yang tidak membolehkan menafsirkan dengan ro'yu dengan alasan sebagai berikut:
a. Tafsir dengan ro'yu adalah membuat-buat (penafsiran Al-qur'an dengan tidak berdasarkan ilmu). Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah:
إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Baqarah [2]: 169).

b. Sebuah hadis tentang ancaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra'yu, yaitu sabda Rasul saw "Berhati-hatilah dalam mengambil hadisku kecuali benar-benar anda telah mengetahuinya. Siapa yang mendustakan secara sengaja maka bersedialah bertempat di neraka. Dan barang siapa menafsirkan menurut pendapatnya (ro'yunya) maka hendaklah dia bersedia menempatkan diri di neraka pula" (HR Turmudzy). Firman Allah swt:
بالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An-Nahl [16]: 44).

c. Tugas menjelaskan Al-qur'an dikaitkan kepada Rasul, karena itu dapatlah dipahami bahwa selain dari rasul tidak ada hak sedikitpun untuk menjelaskan makna Al-qur'an.
d. Para sahabat dan tabi'in merasa berdosa bila menafsirkan Al-qur'an dengan ro'yunya, sehingga Abu Bakar Shidiq mengatakan : "Langit manakah yang akan menauingiku dan bumi manakah yang akan melindungiku bila aku tafsirkan A1-qur'an menurut ro'yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul".
Ulama yang membolehkan tafsir dengan ro'yu adalah golongan jumhur dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Allah telah menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Al¬qur'an seperti firmanNya:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولوا الألباب
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan membawa berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang¬orang yang mempunyai fikiran". (QS Shad [38]: 29). Tadabbur dan tadzakkur tidak bisa tanpa mendalami rahasia-rahasia al-qur'an dan berusaha keras dalam memahami artinya.

b. Allah membagi manusia dalam dua klasifikasi, kelompok awam dan kelompok ulama. Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum. Firman Allah:
ولو ردّوه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم
" Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka. (QS An-Nisa: 83).
Makna istimbat pada ayat tersebut ialah menggali makna-makna yang mendetail dengan penuh pemikiran. Langkah tersebut dapat dicapai dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-qur'an. Mereka berpendapat : ”Bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri tidak diperbolehkan, akibatnya hukum banyak yang terkatung-katung, dan ini tidak karena seorang mujtahid dalam hukum syara’ mendapat pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya, selama ia telah mencurahkan segala kemampuannya dan membuktikan kesungguhannya untuk mencapai yang hak dan brnar.
c. Para sahabat, mereka membaca Alqur’an dan ternyata mereka berbeda pendapat dalam cara penafsirannya. Dapat dimaklumi, karena mereka tidak mendengar seluruh yang mereka ucapkan tentang penafsiran Alqur’an dari Nabi saw.
d. Nabi saw mendoakan Ibnu Abbas dengan sabdanya : "Ya Allah, berilah ia pengetahuan tentang agama dan ajarilah ia tentang ta’wil". Bila yang dimaksud dengan ta’wil di sini hanya terbatas pada penyimakan dan kutipan sebagaimana Al-qur’an, niscaya tidak ada faedahnya dalam mengkhususkan doa untuk Ibnu Abbas. Dengan demikian, dinyatakan bahwa ta’wil adalah penafsiran dengan ro’yu atau ijtihad.7

C. MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
Macam tafsir berdasarkan metodenya ada empat macam yaitu (1) tafsir tahlily, (2) tafsir Ijmaly, (3) tafsir muqaaran, (4) tafsir maudhu’i (tematik).
Tafsir Tahlily yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan cara mengkaji ayat-ayat Al-qur'an dari segala segi dan makna, menafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf usmani. Untuk itu perlu menguraikan kosa kata dan lafadh, menjelaskan arti, sasaran yang dituju, kandungan ayat yaitu unsur ijaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistimbatkan dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah, perintah dan seterusnya serta mengemukakan kaitan antara ayat dan relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya, untuk itu merujuk kepada sebab-sebab turunnya ayat hadis rasul, sahabat serta tabi' in.
Dalam karya Nashiruddin Baidan8 secara panjang lebar dia menyatakan bahwa penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) atau rayi (pemikiran). Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk Al ma'tsur ialah Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayat Al-Qur'an karangan Ibn Jarir al¬Thabari (w. 310 H), Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim (terkenal dengan Tafsir Ibn Katsir) karangan Ibn Katsir (w. 774 H), dan Al Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al¬Ma-tsur karangan al-Suyuthi (w. 991 H). Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ra’yi antara lain: Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H), Al-Kasysyaf karangan Zamakhsyari (w. 538 H), Tafsir al-Manaar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H)
Pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukilkan di atas terlihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur'an secara komperehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupu al-ra’yu dalam penafsiran tersebut Al¬Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan. Demikian pula ikut diungkapkan penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan Nabi saw, sahabat, tabi'in, tabiut tabi'in dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra, dan sebagainya, sehingga lahirlah berbagai corak penafsiran fiqh, sufi, fisafat, `ilmi, adabiwa ijtima, dan lain-lain.
Di dalam tafsir bi-al-m’'tsur tetap ada analisis tapi sebatas adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran berhenti pula. Berbeda halnya dengan tafsir bi al-ra’yu, dimana penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidak adanya riwayat. Hal itu 10 dimungkinkan karena fungsi riwayat di dalam tafsir bi al-ra'yi hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran bukan sebagai titik tolak atau subjek.
Di dalam tafsir bi al-ra’tu yang menggunakan metode analitis ini para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interprestasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu'tabar.
Di dalam tafsir tahlili, si mufasir relatif punya banyak peluang untuk mengemukakan ide-ide dan gagasan-gagasan berdasarkan keahliannya sesuai dengan pernahaman ayat. Metode tahlili, tidak memerlukan perbandingan antara ayat dengan ayat, antara ayat dengan hadis, maupun antara berbagai pendapat ulama dalam menafsirkan suatu ayat. Metode analitis amat berbeda dari metode tematik, khususnya dari sudut penetapan tema-tema atau topik-topik yang akan dibahas. Metode analitis menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir dalam mushhaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan sebagai terlihat di dalam kitab-kitab tafsir analitis yang telah disebutkan di muka.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Analitis
1. Kelebihan
a. Ruang lingkup yang luas

Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya: ma’tsur dan ra’yi. Bentuk al-ra’yi dapat lagi di kembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Ahli bahasa, untuk menafsirkan Al-Qur'an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi karangan Abu al-Su'ud, Ahli qiraat seperti Abu Hayyah, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya, ahli filsafat, kitab tafsirnya di dominasi oleh pemikiran¬-pemikiran filosofis seperti Tafsir al-Fakhr al-Razi. Ahli Sains dan teknlogi menafsirkan Al-Qur'an dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Tafsir Al-Jawahir karangan al-Thanthawi al-Jauhari.
b. Memuat berbagai ide
Pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir. Dibukanya pintu selebar-lebar bagi mufasir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan Al-Qur'an, maka lahirlah berbagai kitab tafsir yang berjilid jilid seperti Tafsir al-Thabari (15 jilid), Tafsir Ruh al¬-Ma'ani (16 jilid), Tafsir al-Fakhr al Ra-zi (17 jilid) Tafsir al-Maraghi (10 jilid) dan lain-lain.
2. Kekurangan
a. Menjadikan petunjuk Al-Qur'an parsial
Metode analitis juga dapat membuat petunjuk Al-Qur'an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan Al-Qur'an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.
b. Melahirkan penafsiran subjektif
Metode analitis, sebagaimana telah disebut di muka, memberikan peluang yang luas sekali kepada musafir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufasir tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan Al-Qur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
c. Masuk pemikiran israiliaat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran israiliaat.
Urgensi Metode Analitis
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur'an. Berkat metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang besar. Berdasarkan kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dipungkiri oleh siapa pun.
Dalam penafsiran Al-Qur'an, jika ingin menjelaskan kandungan firman Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqh, teologi, filsafat, sain, dan sebagainya, maka di sini metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih dapat diandalkan daripada metode-metode yang lain.
2. Tafsir Ijmaly
Yaitu penafsiran Alqur'an secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar, dengan cara mufassir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain selain anti yang dikehendaki. Hat ini dilakukan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai urutan mushaf, setelah itu mengemukakan inti dalam kerangka uraian yang mudah.
Diantara kelebihan dari metode Ijamly ialah praktis dan mudah dipahmi, bebas dari penafsiran israiliyaat, dan akrab dengan bahasa Al-Qur'an. Sedangkan diantara kelemahannya ialah menjadikan petunjuk AI-Qur'an bersifat parsial dan tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai. 9
3. Tafsir Muqaran
Yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan cara mengambil ayat Al¬qur'an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir.
4. Tafsir Maudhu'iy
Yaitu metode menafsirkan Al-qur'an dengan cara menetapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kebudian dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pendapat Al-qur'an.10 Karena pentingnya metode ini akan dibahas secara tersendiri.
C. Ilmu-ilmu Yang Dibutuhkan Bagi Mufassir
Seorang mufassir kitab Allah memerlukan beberapa macam ilmu pengetahuan yang harus dipenuhi sehingga is benar-benar ahli dalam bidang mufassir.
Para ulama telah menyebutkan tentang macam-macam ilmu yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir. Menurut As-Suyuthi sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu, sharaf, etimologi). Hal ini sangat penting bagi seorang mufassir, sebab bagaimana mungkin memahami ayat, tanpa mengetahui perbedaan kata dan susunan kalimat.
2. Mengetahui ilmu balaghoh (ma’any, bayan, badi') sangat penting dan diperlukan bagi orang yang hendak menafsirkan Al-qur’an karena ia harus menjaga atau memelihara bentuk kemu'jizatan.
3. Mengetahui ushul fiqih (tentang khash, `am, mujmal, mufashal dan sebagainya), juga diperlukan oleh seorang mufassir dalam memahami Al-qur’an supaya tidak kelirumemahaminya, serta tidak terpeleset oleh kebodohan karena tidak tahu tentang ilmu-ilmu yang penting itu.
4. Mengetahui asbabun nuzul.
5. Mengetahui tentang nasikh dan mansukh.
6. Mengetahui ilmu qiraat.
7. ilmu mauhibah, yaitu ilmu yang diberi oleh langsung dari Allah. Ilmu yang diwariskan ole Allah kepada seseorang yang mengamalkan sesuai dengan ilmunya, serta Allah membukakan hati orang tersebut untuk memahami rahasia-rahasianya.
Syarat-syarat dari ilmu yang telah disebutkan tadi adalah untuk mewujudkan tafsir yang paling tinggi martabatnya. Tafsir yang paling tinggi martabatnya hanya dapat dicapai dengan kita melengkapi urusan-urusannya, yaitu:
a. Memahami hakekat lafal yang tunggal, yang terdapat di dalam al-qur’an dengan memperhatikan cara-cara ahli bahasa mempergunakan kalimat¬-kalimat itu. Kebanyakan lafal-lafal Al-qur’an dipakai di mana Al-qur’an sedang diturunkan untuk beberapa makna. Kemudian sesudah itu berlalu beberapa masa maka lafal-lafal itu dipakai untuk makna-makna yang lain, umpamnya lafal ta’wil.
b. Memperhatikan uslub-uslub Al-qur'an. Seorang mufassir harus mengetahui alat, yang dengan alat itu dia dapat memahami uslub-uslub bahasa Arab yang tinggi. Untuk itu perlu ilmu 1'rab dan ilmu asalib (ma'ani dan bayan).
c. Mengetahui keadaan-keadaan manusia. Allah telah menurunkan Al¬qur'an dan menjadikannya sebagai kitab yang absah, di dalamnya diterangkan keadaan atau hal-hal yang tidak diterangkan dalam kitab lain. Di dalamnya diterangkan keadaan makhluk, tabiatnya, sunnah-¬sunnah ketuhanan di dalam menciptakan manusia. Dan di dalamnya juga diterangkan kisah umat-umat yang telah lalu. Karenanya, perlulah orang memperhatikan isi Al-qur’an, memperhatikan pula keadaan perturnbuhan dan perkembangan manusia dari zaman ke zaman.
d. Mengetahui jalan-jalan Al-qur'an memberi petunjuk kepada manusia dengan Al-qur'an. Karenanya, wajiblah bagi seorang mufassir yang melaksanakan fardhu kifayah ini mengethui keadaan manusia di masa Nabi saw, baik dari bangsa arab maupun bangsa lain. Dan bahwasanya Nabi saw dibangkit Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mendatangkan kebahagiaan kepada mereka.
e. Mengetahui sirah ( riwayat hidup Nabi saw dan sahabat), dan bagaimana keadaan sahabat, baik dalam bidang ilmu, aural dan bagaimana mereka menghadapi masalah-masalah keduniaan dan keakhiratan.

E RINGKASAN

Berdasarkan sumbernya, tafsir ada dua macam yaitu tafsir ma'tsur dan ro'yu. Tafsir ma'tsur yaitu tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang sahih, sedang tafsir ro'yu adalah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istimbat) yang didasarkan pada ro'yu saja.
Berdasarkan metode pendekatannya, tafsir ada empat macam yaitu tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’iy dan lain-lain. Dari berbagai tafsir dilihat dari segi metodenya tentu terdapat keunggulan masing-masing dan kelemahannya. Yang terpenting para pembaca dapat memahami bagaimana proses pemakaian sebuah metode tafsir.

ILMU NUZULUL QURAN

Adalah hikmah Allah swt bahwa wahyu diturunkan sejalan dengan keperluan yang dialai oleh Rasulullah saw dan untuk memberi tahu beliau mengenai¬ masalah-masalah baru yang terjadi setiap hari. Melalui wahyu, Allah memberi tuntunan serta petunjuk dan memantapkan ketabahan serta menambah ketenangan beliau. Di samping itu, wahyu diturunkan juga sejalan dengan keperluan yang dibutuhkan untuk mendidik para sahabat beliau, memperbaiki adat kebiasaan dan menjawab berbagai persoalan yang mereka alami.

A. Proses Turunnya Al-Qur'an
Pada umumnya para ulama cenderung berpendapat bahwa Al-qur'an turun tiga kali: (1) mula-mula turun di Lauh Mahfudz, (2) selanjutnya ke Baitul-`Izzah di langit dunia (langit lapis pertama), (3) dan terakhir diturunkan secara terpisah dan berangsur-angsur sejalan dengan peristiwa tertentu. Al-Qur'an turun dari Lauh Mahfudz ke Baitul 'Izzah adalah sekaligus pada malam Lailah al-Qadr. Beberapa dalil untuk mendukung pendapat ini ialah:
1- حم والكتاب المبين إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين (الدخان(44): 1-3)
2- إنا أنزلناه في ليلة القدروما أدراك ما ليلة القدر (القدر97: 1-2)
3- شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان (البقرة (2): 185)
Dan tiga nash tersebut jelaslah bahwa al-Qur'an diturunkan pada satu malam yaitu malam lailatul Qadr. Turunnya ini dimaksudkan adalah turun yang pertama kepada Baitul 'Izzah karena kalau yang di maksud turun kali yang kedua , maka tidaklah absah bahwa dikatakan turunnya Al-Qur'an pada malam yang satu (Ramadhan), karena al-Qur'an itu diturunkan pada masa yang panjang selama masa pengutusan (23 tahun), dan diturunkan pada bulan Ramadhan yang merata pada seluruh Ramadhan. Di samping beberapa nash al-Qur'an di atas juga didukung oleh beberapa hadis¬-hadis shahih, antara lain:

1- عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: فصل القرأن من الذكر فوضع بيت العزة من السماء الدنيا فجعل جبريل ينزل به على النبى صلى الله عليه وسلم (رواه الحاكم)
2- عن ابن عباس رضى الله عنهما قال: أنزل القرأن جملة واحدة الى السماء الدنيا وكان بمواقع النجوم وكان الله ينزله رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضه فى أثر بعض (رواه الحاكم والبيهقى)
3- روى عن ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال: أنزل القرأن فى ليلة القدر فى شهر رمضان الى السماء الدنيا جملة واحدة ثم أنزل نجوما (رواه الطبرانى) . يريد بقوله "مواقع النجوم" على تؤدة ورفق. وقوله "رسلا" أنه منجما مفرقا يتلو بعضه بعضا. وقوله " نجوما" اى أجزاء متفرقة.

Sedangkan model kedua yaitu al-Qur'an turun berangsur-angsur, maksudnya ialah turun dari Baitul `Izzah ke dalam hati Nabi saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun sampai akhir hidup Rasulullah. Menurut berbagai sumber riwayat setelah bi'tsah Rasulullah hidup di Makkah selama 13 tahun, kemudian hijrah ke Madinah dan mukim di kota itu hingga akhir hayatnya , yakni 10 tahun. Begitulah al-Qur'an turun berangsur-angsur. Nabi saw membacanya perlahan-lahan, sedang para sahabat membacanya sedikit demi sedikit. Ayat-ayat al-Qur'an diturunkan sehubungan dangan peristiwa, baIk bersifat individual atau sosial. Adapun dalil naqli bahwa al-Qur'an turun berangsur-angsur yaitu:
1. وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا (الإسراء: 106)
2. وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)

B. Hikmah Turun Al-Qur'an Secara Berangsur-Angsur (As-Shabuni, 1975:35)

1) Meneguhkan dan menetapkan hati Nabi saw dalam menghadapi penderitaan yang dilancarkan oleh kaum musyrikin
Pada suatu ketika orang-orang musyrik mengusulkan agar al-Qur-an itu diturunkan sekaligus sebagaimana kitab-kitab samawi sebelumnya. Oleh karena itu Allah swt menolak usulan mereka dengan firmanNya Furqan (25):32:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Terkadang jalan meringankan hati Nabi melalui cara menceritaka kisah-kisah para Nabi agar Nabi saw mengikuti kesabaran dan jihad mereka. Seperti firmanNya:
ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأوذوا حتى أتاهم نصرنا ولا مبدل لكلمات الله ولقد جاءك من نبإ المرسلين (الأنعام: 34)
فاصبر كما صبر أولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم كأنهم يوم يرون ما يوعدون لم يلبثوا إلا ساعة من نهار بلاغ فهل يهلك إلا القوم الفاسقون (الأحقاف: 35)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

Atau dengan jalan menjanjikan pertolongan dan menunjukkan kekuatan. Seperti firmanNya:
1. وينصرك الله نصرا عزيزا (الفتح: 3)
2. ولقد سبقت كلمتنا لعبادنا المرسلين إنهم لهم المنصورون وإن جند نا لهم الغالبون (الصفات: 171-173)
Atau terkadang melalui cara menghabarkan kepada Rasulullah dengan kabar mengalahkan musuh-musuhnya. Seperti:

قل للذين كفروا ستغلبون وتحشرون إلى جهنم وبئس المهاد (ال عمران: 12)

2) Meringankan Rasulullah saw ketika wahyu turun, karena ayat-ayat al-Qur'an itu sangat hebat.
Kalau al-Qur'an itu diturunkan sekaligus tentu sangat memberatkan Nabi karena kehebatan al-Qur'an itu. FirmanNya:
إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا (المزمل: 5)
لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله وتلك الأمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون (الحشر: 21)

Diceritakan oleh `Aisyah ra bahwa ketika turun ayat al-Qur'an kepada Nabi di mana Nabi saw merasa sangat berat. Ketika turun wahyu saya melihat, pada waktu itu hari sangat dingin, namun dahi Nabi bercucuran keringat. Hat itu karena beratnya wahyu itu. (HR. Bukhari).

3) Penetapan atau berangsur-angsur dalam tasyri' hukum.
Seperti halnya mengharamkan minum khamr. Pada tahap pertama adalah menyuruh menjauhi daripadanya dengan cara tidak langsung. Firman-Nya Nahl (16):67:
ومن ثمرات النخيل والأعناب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا إن في ذلك لآية لقوم يعقلون (النحل: 67)
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

Dalam ayat tersebut memberitahukan bahwa Allah memberi nikmat dengan dua hal yaitu anggur dan kurma, yang dari keduanya menghasilkan sesuatu yang memabukkan (khamr) yang hal itu rizki yang baik dan memberi manfaat bag] manusia balk sebagai makanan maupun minuman. Yaitu pertama¬tama diberi pujian yaitu rizki yang baik, tetapi juga memberi gambaran bahwa hal itu sesuatu yang memabukkan dan menghilangkan akal manusia. Pada tahap kedua, yaitu suruhan agar menjauhi secara langsung dengan cara memperbandingkan dua akibat yaitu terdapat kemanfaatan secara material dan kemudaratan badan dan akal. Juga diterangka tentang madorot yang besar yang menjurumuskan dan membinasakan kepada manusia dengan cara jatuhnya seseorang kepada perbuatan dosa besar. FirmanNya Al-Baqarah (2): 219:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسألونك ماذا ينفقون قل العفو كذلك يبين الله لكم الآيات لعلكم تتفكرون
Yang di maksud dengan "kemanfaatan" ialah kemanfaatan yang bersifat materi yang dapat diambil faedahnya dari perdagangan dan jual bell khamr yang dapat menguntungkan. Dari perbandingan antara kemanfaatan dan kamadorotan jelaslah bahwa Islam menyuruh menjauhi khamr dengan cara menerangkan kemadorotan yang bersifat jasmani sekalipun tidak mengharamkannya. Pada tahap ketiga, dengan mengharamkan khamr tetapi hanya pada waktu tertentu saja. FirmanNya Nisaa (4): 43:
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون
Pada ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah mengharamkan khamr pada waktu shalat saja, selain itu tidak apa-apa. Telah diriwayatkan tentang asbab nuzulnya ayat ini yaitu ketika Abdunahman bin Auf mengadakan walimah yang mengundang beberapa sahabat. Ali bin Abi Thalib berkata : kami diundang dan kami diberi minum khamr. Karena itu saya mengambilnya dan di antara kami. Kemudian waktu shalat datang, dan mereka menunjuk saya menjadi imam shalat. Maka saya membaca ayat:
قل يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون ونحن نعبد ما عبدتم فنزلت الأية الكريمة...
Pada tahap keempat, dengan mengharamkan khame secara keseluruhan dan secara qath'i. FirmanNya Al-Maidah (5): 90-91
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

4) Untuk memudahkan menghafal al-Qur'an, memelihara, memahami dan memikirkannya.
Sementara ulama berpendapat, kalimat meneguhkan hatinya dalam ayat 32-33 Surat al-Furqan tidak punya makna lian kecuali menghafal semua ayat di dalam hati Rasul saw. Mereka mengatakan: "beloau seorang ummi, tidak dapat membaca dan menulis, karena itulah al-Qur'an turun berangsur-angsur agar beliau mudah menghafalkannya. Lain hainya dengan Nabi terdahulu, beberapa di antaranya ada yang dapat membaca dan menulis, karena itu ada kemungkinan baginya untuk menghafalisi semua kitab suci meskipun diturunkan sekaligus (al¬Zarkasyi, 1957:1:231). Ibnu Furak menambahkan penjelasan mengenai itu secara terinci. la mengatakan :"konon Taurat diturunkan secara sekaligus, karena Nabi yang menerimanya dapat membaca dan menulis, yaitu Nabi Musa as". Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak dapat ditulis seketika karena is diturunkan kepada seorang Nabi yang tidak kenal baca tulis (al-Zarkasyi, I, 1957:231).

5) Perjalanan, kebutuhan atau kondisi kejadian-kejadian kebutuhan.
Adapun turunnya disesuaikan dengan keperluan yang dibutuhkan kaum mukminin pada saat itu. Di dalam al-Qur'an ditemukan banyak macam bentuk dan coraknya, namun semuanya bertemu pada satu titik tujuan yaitu memelihara dan memenuhi kebutuhan kaum mukmunin di dalam masyarakat bare yang mulai berkembang tanpa mengejutkan dengan perundang-undangan , kebiasaan-kebiasaan dan etika yang belum bisa mereka hayati sebelumnya (Subh al-Shalih, 1977:62). Dalam riwayat Bukhari (Shahih Bukhari VI, t. :185) dijelaskan bahwa 'Aisyah mengatakan, bagian al-Qur'an yang pertama-tama turun ialah sebuah surat terinci yang menyebut surga dan neraka. Setelah banyak orang memeluk Islam turunlah ayat-ayat mengenai halal haram. Kalau sekiranya yang pertama turun: "Jangan minum arak", mereka pasti menjawab: "kami tidak akan meninggalkan arak selama-lamanya", dan kalau yang pertama itu turun , "kalian jangan berzina", mereka tentu menjawab:"kami tak akan meninggalkan perzinaan selama¬lamanya". (as-Suyuti, 1, tt.:73).

6) Memberi petunjuk kepada sumber al-Qur'an bahwa dia diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana.
Semua ayat-ayat al-Qur'an itu merupakan kalam Allah yang tidak mungkin merupakan perkataan Nabi Muhammad saw dan tidak pula kalam makhluk lainnya.

C. PEMELIHARAAN AL-QUR'AN DI MASA NABI SAW

AL-Qur'an menurut para ulama ialah sebagai kalam Allah swt yang diwahyukan kepada RasulNya (Muhammad saw) dan bagi yang membacanya adalah ibadah (Manna al-Qattan, 1973:21). DI samping itu kedatangan al-Qur'an adalah dengan jalan mutawatir sehingga memberi nilai qath'iyul wurud. Sejarah mencatat bahwa al-Qur'an itu diwahyukan bukan kepada seorang yang pintar baca tulis, tetapi kepada Rasul yang ummi dan kepada bangsa yang sebagian penduduknya buta huruf di Jazirah Arab. Demikian juga kaum muslimin telah sepakat bahwa al-Qur'an sejak masa Nabi saw sudah tertib ayat ayatnya, susunannya maupun kalimat-kalimatnya serta huruf-hurufnya (Hanafi Ahmad, tt. :15).
Perlu juga ditambahkan bahwa pada waktu al-Qur'an diturunkan, bangsa Arab telah mengenal berbagai kesenian, keterampilan berkuda, kisah-kisah dan peribahasa dan dialek yang berlaku di kalangan bangsa Arab itu. "Kami tidak mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa yang digunakan di kalangan bangsanya, agar dia menjelaskannya kepada kita. (QS Ibrahim [14]:4) Dalam sejarah, kita melihat di masa Nabi saw telah banyak sahabat Nabi yang hafal al-Qur'an seluruhnya. Oleh Subh Shalih yang diambil dari riwayat Bukhari di dalam shahihnya, tidak dapat mengatakan lebih kecuali jumlah para sahabat yang hafal al-Qur'an pada hidupnya Rasulullah tidak lebih dari tujuh orang. Tujuh orang itupun naman-namanya tidak disebut secara beturut di dalam satu riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, tetapi tersebut dalam tiga buah riwayat yang meninggalkan nama-nama yang telah di sebut berulang-ulang.
Riwayat pertama berasal dari Abdullah bin 'Amar bin al-'Ash yang mengatakan sebagai berikut: Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Belajarlah al¬Qur'an dari empat orang, 'Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu'adz dan Ubai bin Ka' ab".
Riwayat kedua, berasal dari Qatadah yang mengatakan : Aku pernah bertanya pada Anas bin Malik: "Siapakah sebenarnya para penghafal al-Qur'an pada masa hidup Rasulullah?". Anas menjawab:"Empat orang semuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka'ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid". Aku bertanya lagi: Siapakah Abu Zaid? Anas menjawab: "Seorang dari kaum muslimin awam".
Riwayat ketiga, dikemukakan oleh Tsabit berasal dari Anas bin Malik yang mengatakan sebagai berikut: Ketika Rasulullah wafat belum ada yang hafal al-Qur'an kecuali empat orang, yaitu Abu Darda', Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.
Menurut Blachere (orientalis) bahwa ketujuh orang itu ialah 'Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Ma'qal anak asuh Abu Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin as-Sakhn dan Abu Darda'. Pada bagian lain Blachere menyebutkan ada satu salah nama yang tidak disebutkan dalam riwayat Bukhari tersebut padahal dia adalah penghafal al-Qur'an dan terkenal julukan al¬Qari yaitu Sa'id bin Ubaid.
Subh al-Shalih menyimpulkan bahwa sebenarnya masih banyak yang hafal al-Qur'an sepeninggal Nabi saw yang termasuk jajaran ahli qiraat, yaitu: empat orang khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali ra), Thalhah, Sa'ad, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah, Salim Abu Hurairah, Abdullah bin Sa'ib, abdullah bin Amar bin al-Ash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Aisyah, Hafhsah, dan Umu Salamah. Mereka itu semuanya dan kaum Muhajirin. Sedang dan kaum Anshar: Ubadah bin As-Shamit, Mu'adz julukannya bernama Abu Halimah (bukan Mu'adz bin Jabal), Majma' bin Jariyah, Fadhalah bin Ubaid, Maslamah bin Mukhallad. Sebenarnya masih banyak lagi yang menghimpun al-Qur'an di dada masing-masing, menghafalnya dengan sangat banyak, tetapi mereka itu tidak sempat diuji ketepatan hafalannya di hadapan Rasulullah saw.
Nabi saw tidak pandai baca tulis karena itu dia menyuruh para sahabat untuk menuliskan wahyu Allah setiap Nabi saw menerimanya. (al-Ibyari, 1964:47). Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah mempunyai beberapa pencatat wahyu, di antaranya, empat oramg sahabat yaang akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubai bin Ka'ab, Tsabit bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-Qur'an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan yang tertulis. (Subh al-Shalih, 1977:69). Namun sekalipun telah dihafalkan dan dituliskan seluruh al¬-Qur'an pada masa Nabi, tetapi masih belum terkumpul dalam satu mushaf atau satu tempat dan tidak pula tersusun surat-suratnya secara tertib. (as-Suyuti, 1979:59). Para sahabat menuliskan ayat itu pada lempengan kulit, daun, batu-¬batuan yang tipis, yang lebar, pelepah kurma, tulang-tulang unta atau kibas yang sudah kering, pelana unta serta pada kulit. (Subh al-Shalih, 1977:70; as-Suyuti, 1979:60).
Seluruh al-Qur'an itu tidak mungkin ada kalimat atau kata yang disisipkan Nabi saw atau dituliskannya karena tidaklah pantas sifat seorang Nabi seperti itu. Di samping itu adalah ummi. Seperti para ahli sejarah menyebutkan kajadia pada perang uhud. Pada waktu itu Abbas berada di Makkah dan menulis surat kepada Nabi saw dan surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki dari Bani Ghifari. Isi surat itu memberitahukan bahwa orang-orang Quraisy telah bersepakat untuk keluar dari Makkah menuju perang Uhud. Ketika Nabi saw menerima surat tersebut, beliau memanggil Ubai bin Ka'ab (sekretaris Nabi saw) untuk membacanya. Setelah Ubay selesai membaca surat tersebut, Nabi menyuruh Ubai untuk merahasiakan isi surat tersebut. (Ibyari, 1964:48). Sekiranya Nabi pandai tulis baca tentu tidak perlu beliau minta bantuan untuk membacakan surat tersebut, apalagi kandungan surat itu sangat penting dan bersifat rahasia. Sebagaimana telah disebutkan bahwa tartib ayat-ayat al-Qur'an itu adalah menurut petunjuk Nabi saw (tauqify). Nabi saw bisa membaca satu surat berulang-ulang dengan tertib ayat-ayatnya baik dalam shalat maupun pada waktu beliau berkhutbah dan disaksikan oleh para sahabatnya. Ini menunjukkan tartib ayat-ayat al-Qur'an adalah tauqify (Subh al-Shalih, 1977:71). Kalau tidak tauqify, tentu Nabi saw dalam membacakan ayat-ayat al-Qur'an tidak perlu tartib. Kita tahu bahwa dalam satu surat bukanlah membicarakan satu jenis masalah. Kadang¬-kadang beberapa ayat membicarakan satu jenis permasalahannya, kemudian beralih ke masalah yang lain, lalu kembali lagi ke masalah semula. Demikian juga ayat yang lebih awal turun ditempatkan pada awal al-Qur'an atau yang akhir turun ditempatkan pada awal dari al-Qur'an, seperti QS Al-Baqarah [2]:281 adalah akhir turunnya ayat al-Qur'an (Ibyari, 1964:62). Dan Nabi saw menempatkannya di antara dua ayat "riba dan dain" dari surat al-Baqarah. Seperti itu juga sekalian ayat al-Qur'an (Subh al-Shalih, 1977:71; Ibyari, 1964:67).
Mengenai susunan surat yang sekarang ini, apakad berdasarkan tauqify atau tidak, ada beberapa pendapat:
1. Susunan surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat. Karena susunan surat pada mushaf sahabat sebelum penulisan pada Khalifah Usman berbeda-beda. Kalau susunan itu atas petunjuk Nabi saw, niscaya mereka mematuhi Nabi saw.
2. Berdasarkan tauqify sebagaimana susunan ayat. Karena seluruh ayat-ayat al¬Qur'an ditempatkan sesuai dengan perintah Nabi saw dengan alasan (1) bahwa semua sahabat telah sepakat terhadap susunan surat dalam mushaf yang ditulis pada Khalifah Usman dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Kesepakatan itu terjadi tidak lain karena berdasarkan tauqify. Sekiranya susunan surat dalam mushaf Usman itu berdasarkan ijtihad, tentu para sahabat yang mempunyai mushaf sendiri tetap mempertahankannya, yang susunannya berbeda dengan mushaf Usman. Kenyatannya mereka tidak mempertahankannya, tetapi menerima mushaf Usman, bahkan membakar mushaf mereka sendiri (2) bahwa keadaan surat-surat yang sejenis dalam al-Qur'an itu tidak senantiasa disusun secara urut (3) bahwa Ibnu Asyta dalam al-Mashahifnya meriwayatkan dari jalan Ibnu Wahab dari Sulaiman bin Bilal, dia berkata: Saya mendengar Rabiah ditanya: "mengapa engkau mendahulukan surat al-Baqarah dan Ali Imran dalam susunannya, sedangkan sebelum kedua surat itu turun, telah ada delapan puluh surat lebih yang turun di Makkah dan al-Baqarah serta Ali Imran keduanya turun di Madinah". Kemudian dia menjawab:" al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan dalam susunannya dan al-Qur'an disusun atas ilmu dari yang telah menyusunnya".
3. Bahwa susunan surat-surat dalam al-Qur'an itu berdasarkan tauqify, dan sebagian yang lain berdasarkan ijtihad sahabat (al-Zarkasyi, tt.:353-8; as-Suyuti, 1979:64).
Pendapat kedua yaitu al-Qur'an baik ayat-ayatnya maupun susunan surat¬suratnya adalah berdasarkan tauqify. Di samping alasan-alasan yang telah dikemukakan, juga dapat kita kutip pendapat Subh al-Shalih, (4) bahwa susunan surat al-Qur'an itu tauqify karena al-Qur'an telah lengkap sepeniggal Nabi saw sehingga usaha-usaha sahabat yang selain Usman, maka hal itu merupakan ikhtiar sahabat itu sendiri. Mereka tidak bermaksud atau berusaha agar seseorang mengikuti tertib surat yang berada dalam mushaf mereka. Tidak juga mereka mengatakan bahwa menyalahi mushaf mereka dilarang. Mereka menulis mushaf untuk mereka sendiri sehingga setelah umat Islam sepakat terhadap tertib surat yang ditulis oleh panitia adhoc yang dibentuk Khalifah Usman, mereka mengambilnya dan meninggalkan mushaf-mushaf mereka. Sekiranya mereka berpendapat bahwa tertib surat itu ijtihadi, tentu mereka tetap berpegang kepada mushaf mereka dan tidak perlu mengambil mushaf Khalifah Usman (Subh al-Shalih, 1977:71). Perlu ditambahkan bahwa Zaid bin Tsabit (ketua panitia) sebagai pengkodifikasinya adalah seorang yang hafal al-Qur'an seluruhnya dan dia hadir pada waktu kali yang terakhir Jibril as datang untuk mengecek al-Qur'an yang dihafalkan oleh Rasulullah saw sehingga adanya perbedaan tertib surat yang ada di tangan para sahabat semata-mata karena perbedaan kedekatan mengikuti Nabi saw, seperti Ali bin Abi Thalib, dan sahabat yang lain kadang-kadang dapat mengikuti Nabi dan kadang-kadang tidak. Demikian juga kalau kita lihat begitu rapinya susunan surat, maka tidak mungkin para sahabat berfikir untuk menyusunnya dalam waktu yang relatif singkat sedang keadaan pada waktu itu dilanda oleh situasi yang tidak stabil (perang).
Ada riwayat yang sebenarnya lemah, yaitu terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (Jilid 1:331). Hadis itu ialah jawaban Usman bin Affan kepada Ibnu Abbas yang mengungkapkan alasan penempatan surat al-tiara an (at-Taubah) tanpa diawali basmalah sesudah surat al-Anfal: "Surat al-Anfal termasuk surat¬-surat pertama yang turun di Madinah, sedangkan al-Bara'ah turun belakangan. Kisah yang ada dalam surat al-Bara'ah serupa dengan kisah yang tercantum dalam surat al-Anfal. Sampai saat Rasulullah wafat tidak dijelaskan bahwa surat al¬-Bara'ah adalah bagian dari surat al-Anfal. Aku mengira surat al-Bara'ah itu merupakan bagian surat al-Anfal, karenanya dua surat tersebut kutempatkan berdampingan... " dan seterusnya. Menurut Ahmad Muhammad Syakir, sebenamya hadis tersebut sangat lemah, bahkan tidak jelas asal dan sumbernya, sedang isnad dan riwayatnya hanya berputar di sekitar orang yang bernama Yazid al-Farisi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Bukhari memasukkan Yazid al-Farisi ke dalam daftar kaum perawi hadis dha'if (lemah). Hadis riwayat satu orang, sulit diterima.
Apalagi mengandung unsur yang meragukan keyakinan umat sebagaimana halnya dengan penyusunan surat, bacaan maupun penulisannya di dalam mushaf Hadis yang dimaksud juga meragukan kepastian adanya Basmalah pada setiap awal surat sehinggan timbul kesan seolah-olah Usman bin Affan menetapkan atau meniadakan Basmalah itu menurut pendapatnya sendiri. Sungguh sulit dipercaya hal itu bisa terjadi. Karena itu tidaklah salah kalau kami mengatakan:"hadis itu tidak karuan asalnya". (Tanggapan tentang hadis tersebut, lihat Musnad Ahmad bin Hanbal I, hat. 330).
Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidup Rasulullah telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup "tujuh huruf' yang menjadi landasan turunnya al-Qur'an.
Sesungguhnya, setiap ayat yang dicatat disimpan di rumah Rasulullah, sedang para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saling kontrol antara naskah yang berada di tangan para pencatat wahyu itu dan suhuf (lembaran-lembaran al-Qur'an) yang berada di rumah Rasulullah saw. Di samping itu ada kontrol lain dari para penghafal al-Qur'an di kalangan sahabat Nabi saw, baik yang buta huruf maupun tidak. Keadaan itulah yang menjamin al-Qur'an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah swt:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون (الحجر: 9)
"Kamilah yang menurunkan al-Qur'an dan Kami (jugalah) yang menjaganya"